Home » » Kebijakan Gus Dur tentang PKI

Kebijakan Gus Dur tentang PKI

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Wednesday 27 November 2013 | 23:54

Gus Dur, PKI, dan Kepastian Hukum: Usulan Pencabutan TAP MPRS XXV/1966 yang Ditentang MPR

presiden gus dur, kebijakan masa pemerintahan gus dur, kebijakan gus dur tentang PKI, kebijakan pada masa pemerintahan abdurrahman wahid, gaya kepemimpinan gus dur, presiden abdurrahman wahid, pemerintahan gus dur, kebijakan abdurrahman wahid,
kebijakan gus dur tentang PKI
     Di antara kebijakan  politik Gus Dur dalam pentas politik nasional, usulan pencabutan TAP MPRS XXV/ 1966 merupakan gagasan politik yang berani, dan kemuculannya menjadi berita panas dalam konstelasi politik nasional. Hal ini didasarkan usulannya untuk mencabut TAP MPRS yang diskriminatif, sementara di sisi lain banyak anggota MPR dan lawan politiknya yang menolak gagasan tersebut karena dianggap ahistoris dan mengganggu stabilitas nasional, selain dinilai bertentangan dengan pancasila.
Ketika terdapat gagasan agar nama dan hak para bekas tahanan politik yang dituduh terlibat G30S/ PKI sudah menjalani hukuman dikembalikan sebagai warga negara yang baik, tidak banyak gejolak yang muncul. Begitu pula dengan pencabutan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap keturunan pelaku PKI  untuk diperlakukan sama di hadapan hukum, tidak banyak menimbulkan goncangan. Hal ini didasarkan karena sudah selayaknya HAM dan demokratisasi ditegakkan dan tidak diskriminatif dengan dalih keturunan PKI. Akan tetapi, pada saat usulan pencabutan TAP MPRS XXV/1966 tentang pelarangan PKI, terdapat sejumlah keributan di dalam MPR beserta masyarakat, bahkan menjadi isu nasional selama pemerintahan Gus Dur.
Dari media massa sedikitnya dapat diketahui tiga alasan objektif Gus DurPertama, bahwa konsep-konsep Marxisme telah dipelajari terbuka di lingkungan perguruan tinggi.Kedua, era komunis telah berakhir seiring berakhirnya negara Uni Sofiet di ujung babak perang dingin. Ketiga, dendam sejarah masa lalu harus disingkirkan demi menata kehidupan Indonesia yang lebih baik ke depan.[1]
Atas usulan itu, mayoritas fraksi-fraksi MPR menolak keinginan itu.Fraksi yang menolak, yakni FPG, FKB, FPP, FTNI, Fraksi Utusan Daerah dan Golongan.Sedangkan FPDI-P tetap mempertahankan untuk melakukan penghapusan. MUI dalam rapat pleno 21 Maret 2000 secara tegas menantang wacana yang digulirkan presiden. Hartono Mardjono, anggota DPR dari Partai Bulan Bintang pun menyatakan akan meminta MPR menggelar sidang istimewa jika Gus Dur mencabut TAP MPRS XXV/1966. Partai Bulan Bintang juga menyatakan ketidaksetujuan mereka atas usul Gus Dur. Demikian halnya dengan FUII yang menggelar aksi massa sepanjang jalan Merdeka Utara.
     Fraksi Kebangkitan bangsa (F-KB)  lewat  Ali Masykur Musa, mengungkapkan, beberapa tap tersebut harus direvisi. Ia menyatakan PKI harus dinyatakan sebagai organsisasi terlarang di Indonesia tapi marxisme, leninisme sebagai sebuah ideologi tidak boleh dilarang karena merupakan bagian dari sebuah kebebasan berekspresi. Begitu pula dengan fraksi Golkar, mereka menyatakan tap MPRS tersebut harus tetap berlaku dan tidak bisa ditawar-tawar, penghapusan terhadap pasal-pasal tersebut akan membawa bangsa indonesia dalam nihilisme dan ahistoris.
     Juru bicara FPPP, Lukman Hakim Saefudin menilai paham marxisme, komunisme dan leninisme ini  bertentangan dengan asas-asas yang ada dalam Pancasila. Fraksi Reformasi (F-R) MPR-RI berpendapat selain menolak TAP MPR itu, ia juga meminta pemerintah untuk memperlakukan anak keturunan para warga Indonesia yang dulu terlibat ajaran komunis secara adil namun secara tegas menginginkan agar Tap MPRS No. 25/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) tetap diberlakukan.  Sementara Fraksi TNI/Polri secara tegas mengusulkan agar TAP MPRS RI No.XXV/1966, masih harus tetap diberlakukan, dan bersifat final.[2]
     Meski demikian, dukungan atas ide Gus Dur juga mengalir. Banyak kalangan generasi muda yang mendukung wacana presiden Gus Dur. Demikian pula dukungan yang datang dari aktivis gerakan hak asasai manusia dan lingkungan perguruan tinggi.
     Menurut Pimpinan PRD seperti Budiman Sujatmiko, sejak kelahirannya, TAP MPRS XXV/1966 itu sesungguhnya tak memiliki kekuatan apa pun, tak ada gunanya, dan oleh sebab itu keberadaannya untuk dicabut atau dilestarikan tak perlu diperdebatkan. TAP tersebut tak ubahnya seperti “pepesan kosong”. Begitu pula menurut HD. Haryo Sasongko, Ketua Lembaga Humaniora & Rekayasa Sosial, selama Orde Baru TAP tersebut memang efektif dipergunakan untuk menumpas lawan politik Orde Baru.
     Ratusan ribu (menurut pengakuan Sarwo Edhie almarhum bahkan lebih dari tiga juta orang) yang dituding terlibat G30S/PKI telah dibantai tanpa pernah diadili. Dan keluarga korban hingga kini masih mengalami stigmatisasi karena kehilangan hak-haknya sebagai warganegara dan warga masyarakat bahkan juga warga keluarganya sendiri. Dan itulah peristiwa traumatik yang dengan segala eksesnya justru harus segera diakhiri dengan membangun rekonsiliasi nasional.[3]
     Hal tersebut diperkuat oleh Harsa Permata, TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 adalah produk Orde Baru yang melakukan kudeta merangkak untuk mendongkel pemerintahan Soekarno. Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto menggunakan dalih G-30-S untuk memecah poros NASAKOM yang digagas oleh Soekarno yang terkenal dengan konsep Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme-nya. (Soekarno, 1964 : 2).
     Adapun dasar pertimbangan TAP MPRS No. XXV/1966 adalah sangat tidak logis, dan terkesan berat sebelah. Fakta atomik yang ditonjolkan dalam proposisi yang menjadi dasar pertimbangan hanyalah tuduhan bahwa PKI telah beberapa kali berusaha menjatuhkan pemerintah R.I yang sah dengan jalan kekerasan. Sementara jalan kekerasan juga dilakukan oleh golongan lain seperti PRRI dan DI, untuk menjatuhkan kekuasaan yang sah.[4]
     Kontroversi pencabutan TAP MPRS XXV/1966 berakhir bersamaan dengan berakhirnya kepemimpinan presiden Gus Dur. Pada rapat fraksi komisi B DPR RI hari Minggu 3 Agustus 2003, semua fraksi sepakat tidak mencabut TAP MPRS XXV/1966. Fraksi TNI/Polri berpendapat, pemikiran untuk mencabut atau mempertahankan ketetapan majelis itu selayaknya ditempatkan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945. Dalam menanggapi fenomena tersebut, dapat dianalisa beberapa hal. Pertama, tap PMRS tersebut dinilai sangat diskriminatif.Hal ini dikarenakan larangan tersebut hanya berlaku bagi kudeta PKI, tapi tidak berlaku terhadap DI dan PRRI yang sama-sama melakukan kudeta terhadap kekuasaan yang sah. Kedua, pelarangan terhadap ajaran komunisme dan marxisme-leninisme merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat dan dengan sendirinya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.Begitu pula dengan tindakan pengamanan terhadap pengembangan akademik mengenai ajaran tersebut dinilai sebagai kontrol negara yang sangat sentralistik dan totaliter. Hal tersebut juga dinilai diksriminatif karena larangan tersebut tidak berlaku bagi organisasi kontra-demokrasi yang lain, misalnya organisasi yang menyatakan bahwa demokrasi dan pancasila adalah sistem yang haram.
Dengan alasan tersebut, Gus Dur sebagai seorang demokrat dan humanis ingin menegakkan HAM dan demokratisasi yang paling dasar, yakni kebebasan untuk berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Hal tersebut dapat dilacak dari perjalanan intelektualnya sebagai aktifis HAM, pejuang demokrasi, dan tokoh kemanusiaan yang tidak membenarkan adanya diskriminasi dalam bentuk apa pun.
Akan tetepi, das sein yang Gus Dur usulkan berseberangan dengan perjalanan politik tanah air. Hal ini disebabkan karena traumatik bangsa atas kudeta PKI yang menewaskan berjuta-juta korban. Di samping itu, ajaran PKI yang dinilai anti tuhan merupakan alasan utama penolakan PKI hadir kembali di Indonesia karena bertentangan dengan pancasila.Usulan Gus Dur dinilai ahistoris dan nihilis, bahkan dinilai sebagai upaya untuk membangkitkan PKI baru sehingga membuat marah kelompok Islam ideologis.
Terlepas dari kontroversi tersebut, upaya Gus Dur merupakan langkah yang serius dalam melakukan demokratisasi dan perjuangan humanisme.Konsep parrhesia yang melawan arus wacana utama merupakan sebuah strategi yang disengaja dan disadari Gus Dur untuk mempertegas posisinya memperjuangkan humanisme dan demokratisasi melawan hegemoni yang tiran.[5]
Penolakan MPR untuk mencabut TAP tersebut merupakan kearifan yang didasarkan pada fakta masyarakat masih belum siap menghadapi dosa sejarah PKI dan Orde Baru dan proses demokratisasi belum bisa dijalankan secara utuh. Dicabut atau pun tidak, masyarakat kini mampu mengakses semua informasi dan ajaran pemikiran, termasuk Marxisme-Leninisme di universitas dan media informasi lain tanpa adanya monitoring dari pemerintah. Begitu juga gerakan-gerakan sosialisme sebagai manivestasi ajaran Marxis muncul dengan tanpa menggunakan nama PKI. Dicabut atau pun tidak, demokrasi yang diperjuangkan Gus Dur cukup berhasil dalam jangka panjang.
     Bahkan menurut Hanif Dakhiri, Gus Dur sedang menggugah kesadaran masyarakat tentang hak-hak hidup manusia, hak untuk berpikir dan sekaligus mengingatkan bahwa konstitusi Indonesia pun menghormati dan melindungi itu semua. Lebih dari hal tersebut, Gus Dur jga sering menyampaikan bahwa kebebasan berpikir dan hak untuk hidup yang dimiliki setiap orang sepenuhnya dijamin oleh syariat, dan merupakan ajaran Islam yang paling asasi.[6]







[2]www.nu.or.id tentang Mayoritas Fraksi Tolak Pencabutan TAP MPRS XXV 1966, diakses pada 22 Juni 2013 pukul 20.04 wib
[3]http://www.wirantaprawira.de/pakorba/tap.htm, diakses pada 22 Juni 2013, pada pukul 21.21 wib
[4]Harsa Permata adalah mahasiswa S2 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, pernah menjadi guru SMA internasional di Jakarta.Informasi selengkapnya dapat diakses pada philosophyangkringan.wordpress.com tentang Tap Mprs No XXV 1966 dan Supersemar Dilihat dari Sudut Pandang Filsafat Analitik, diakses pada 22 Juni 2013, pukul 21.02 wib
[5]parrhesia dipahami sebagai parrhesiaiazesthai yang diatikan sebagai tell to truth (menyampaikan kebenaran), berhadapan dengan suatu kondisi masyoritas sosial yang kadang menjadi sebuah antiteis atas keadaan tersebut. Indikasi tersebut terlihat kuat dalam wacana yang dibangun Gus DurMunawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur, hal. 5-7
[6]M. Hanif Dakhiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 2011), hal. 71-72

0 comments:

Post a Comment